“Journalism has always been a
business of ethical people.”—Leslie H. Whitten
APAKAH ada struktur kerja yang ideal
bagi organisasi media? Berapa besar sebaiknya jumlah staf redaksi (reporter,
fotografer, editor, lay outer dan lainnya) yang dimiliki media? Tidak ada
kesepakatan terkait hal ini. Jumlah dan pola keredaksian selalu mengikuti dan
menyesuaikan dengan kebutuhan media itu sendiri. Hampir-hampir, tidak ada dua
media yang sama-sebangun dari segi keredaksian.
Yang perlu disadari, karya
jurnalistik adalah karya individual seorang reporter, ia baru layak diturunkan
ke halaman media dan menjumpai pembaca setelah melalui proses pengolahan yang
merupakan usaha kolektif keredaksian.
Kerja tim yang apik dan kompak
mutlak dibutuhkan, karena jika satu saja mata rantai keredaksian terlambat maka
produksi media secara keseluruhan akan ikut terlambat. Misal, reporter,
fotografer dan editor telah bekerja dengan baik dan cepat, tapi lay outer telat
memenuhi deadlinenya. Kerja keras dari rekan-rekan sebelumnya tidak berarti
apa-apa lagi. Dan salah satu kunci untuk menciptakan kerja tim yang apik dan
kompak adalah dengan adanya manajemen redaksi yang bagus.
Ingat! Pembaca tidak mau tahu-menahu dengan proses berat yang telah
dialami ruang redaksi, mereka hanya peduli tentang apa yang akan mereka baca.
Tentu saja, yang menjadikan ruang redaksi (newsroom) unik adalah, ia tidak
hanya bicara soal kecepatan, tapi juga ketepatan (akurasi).
STRUKTUR MANAJEMEN REDAKSI
Meskipun tidak ada kesepakatan soal
jumlah dan struktur manajemen redaksi. Namun, layaknya tubuh manusia yang
memiliki organ dan indera dengan fungsi-fungsi tertentu, media juga memiliki
beberapa fungsi dan prinsip pembagian kerja yang umumnya berlaku.
Pemimpin umum adalah pemilik
wewenang tertinggi. Biasanya, ada empat departemen yang bertanggung jawab
padanya, yakni redaksi, iklan, sirkulasi dan usaha. Departemen redaksi inilah
yang kemudian dipimpin oleh seorang
pemimpin redaksi. Tugasnya adalah mengawasi ruangan yang bertugas menyuarakan
sikap media tersebut, baik itu dalam bentuk berita, editorial maupun opini.
Susunan organ yang dipimpin oleh
seorang pemimpin redaksi pada pokoknya terbagi dua. Pertama, bagian yang
bertugas memburu, mengejar dan mengumpulkan berita. Kedua, bagian yang
mengelola dan memproses berita sampai matang siap saji.
Dalam sebuah lembaga pers, yang
berwenang mengizinkan ataupun menolak suatu berita untuk dipublikasikan
sepenuhnya berada di tangan redaksi. Bukan iklan, personalia, apalagi
percetakan. Secara struktual, redaksi media umumnya terdiri atas pemimpin
redaksi, redaktur pelaksana (redaktur eksekutif), redaktur, koordinator
liputan, dan reporter.
Pemimpin Redaksi
Redaktur Pelaksana/ Eksekutif
Redaktur & Koordinator Liputan
Reporter
Pemimpin redaksi adalah jabatan
tertinggi dalam jajaran redaksi. Karena itu, pemimpin redaksi yang bertanggung
jawab jika terjadi kasus atau delik pers. Sedangkan Redaktur pelaksana (redpel)
adalah pelaksana dari kebijakan umum dari media dan kebijakan khusus dari
pemimpin redaksinya. Sehari-hari, ia memimpin dan mengatur para redaktur,
karena itu seringkali disebut managing editor.
Sedangkan redaktur adalah orang yang
bertanggung jawab terhadap isi halaman media. Tugasnya mengedit, menyunting
serta menyajikan berita. Jumlahnya
tergantung banyaknya bidang berita, misal: redaktur politik, redaktur ekonomi,
redaktur kriminal, redaktur olahraga, dan seterusnya.
Yang sederajat dengan redaktur
adalah koordinator liputan (KL). Tugasnya mengkoordinir reporter dan mengatur tugas-tugas liputan
lapangan mereka. Ia wajib mengetahui
kemampuan dan karakter reporter yang ia pimpin. KL juga mesti punya peta
berita, mengingat tugasnya untuk mendistribusikan penugasan peliputan kepada
para reporter.
Redpel dan KL lazimnya, secara
periodik melakukan evaluasi kinerja para repoter. Akan terlihat siapa reporter yang berprestasi
dan produktif, mana yang biasa-biasa saja, atau malah masuk kategori pemalas.
Dari sana bisa ditentukan, siapa yang pantas mendapat reward/ bonus, dan siapa
yang mesti digembleng lagi, atau bahkan mendapat pelatihan khusus.
MANAJEMEN PERS KAMPUS
Kita biasa membaca struktur
keredaksian dihalaman masthead terbitan media tersebut. Sebenarnya, tak ada
perbedaan antara manajemen redaksi pers umum dan pers mahasiswa. Pers mahasiswa
memiliki “keunikan” karena ia terus mengalami dilema kapabilitas dan kinerja.
Dilema kapabilitas karena jurnalis
kampus masih minim dari segi kemampuan jurnalistik dan pengalaman lapangan.
Mereka masih dalam proses pembelajaran dengan jam terbang jauh dibawah
rata-rata seorang jurnalis pro. Dilema kinerja, karena pada hakikatnya mereka
adalah mahasiswa yang sedang menjalani studi di jurusannya masing-masing. Pers
kampus hanyalah kegiatan ekstrakurikuler.
Kunci sukses untuk mengatasi problem
laten pers kampus ini ada empat, pertama, struktur redaksi media yang didesain
disesuaikan dengan kebutuhan dan keunikan yang dimiliki pers kampus tersebut.
Tidak bisa secara serampangan asal contek dari masthead koran pers maisntream.
Manajemen redaksi yang baik akan menghindari adanya martir atau one man show
dalam ruang redaksi.
Kedua, pembagian pos kerja sebagai
proses memilah-milih siapa, kemana, dan
untuk apa, benar-benar-benar ditentukan secara matang. Selain kemampuan,
ia juga menuntut komitmen dan track record kerja yang baik. Poin ini juga
kelanjutan dari proses rekruitmen anggota yang ketat dan baik.
Ketiga, pembinaan SDM. Evaluasi
redaksi harus terus dijalankan setiap akhir penerbitan. Dari sana bisa
diketahui, mana anggota yang membutuhkan tambahan pelatihan dan materi apa yang
mereka butuhkan. Misal, ada beberapa reporter yang masih lemah dari segi
wawancara dan penulisan hard news, kita bisa mencari hari libur dan membuat
pelatihan kecil khusus untuk mereka.
Dan terakhir, keempat, mesti diingat
pers kampus adalah organisasi nirlaba. Stamina kinerja seringkali naik-turun.
Maksudnya, bagi seorang jurnalis di pers umum tak banyak pilihan tersedia,
tidak menulis berarti dapur tak ngepul. Tapi pers kampus yang memang tak
mencari untung dan menggaji anggotanya lain soal. Motivasi mesti terus
diberikan kepada anggota untuk memupuk rasa memiliki terhadap organisasi.
DINAMIKA RUANG REDAKSI
Seorang jurnalis membangun kariernya
dengan menetapkan kode etik, idealisme, tanggung jawab sosial dan standar moral
yang ketat pada dirinya sendiri. Mereka mesti mendapat dukungan, berupa sebuah
ruang redaksi dengan suasana kerja yang nyaman dan bebas, dimana setiap
jurnalis berani untuk bersuara.
Ini bukan perkara gampang dan
memperuwet urusan manajemen. Mengingat ruang redaksi seringkali memiliki
kecenderungan kediktatoran. Seorang pemimpin redaksi memang harus berani
mengambil keputusan, menerbitkan atau tidak sebuah laporan, mencabut atau tidak
sebuah kutipan yang panas. Tapi bukan berarti kesempatan untuk memberi kritik
dan komentar tidak bisa diberikan pada reporter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar